Rabu, 08 April 2015

METAFISIKA DALAM TARI SANGHYANG (BALI)

Kebudayaan Bali sangat menarik dan syarat dengan kesan religi, terutama tariannya. Tari Bali merupakan bagian penting kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi sejak zaman lampau. Itulah yang menyebabkan bentuk- bentuk kesenian tersebut masih terpelihara sampai sekarang. Salah satu bentuk kesenian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang. Sampai sekarang kita masih dapat menyaksikan tari Sang Hyang sebagai salah satu tari sakral dalam agama Hindu, di beberapa desa.

Dalam berfikir metafisika, subjek berusaha menemukan suatu realitas sesungguhnya dari suatu objek pengamatan. Seperti yang dikatakan Aristoteles; ‘metafisika adalah mengkaji yang-ada sebagai yang-ada.’ (Joko siwanto, 2004) Dalam resume kali ini, kami—sebagai tim penyusun—berupaya menyampaikan konsep metafisika dari tari Sang Hyang yang ada di bali.

I.                   PEMBAHASAN
II.1. Seni Tari di Bali
Kehidupan seni tari di Bali sudah ada sejak zaman pra-Hindu. Bentuk tarian purba itu hampir sama dengan tari yang terdapat di daerah pedalaman Kalimantan Timur, Sulawesi, Irian Jaya, dan pulau- pulau lainnya di Indonesia. Tari semacam itu ditemukan pada upacara animisme dan dinamisme (penyembahan leluhur) yang berfungsi untuk menolak bala, menurunkan hujan dan menyembuhkan penyakit. Sisa-sisa kebudayaan seperti itu masih dapat dijumpai di Bali, misalnya tari Sang Hyang, tari Berutuk, tari Baris Cina, tari Perang Duri dan sebagainya. Salah satu bentuk kesenian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang Dedari. Jenis tari ini masih dapat dijumpai di daerah pegunungan dan dipertunjukkan dalam upacara keagamaan.
Bagi masyarakat Bali, bila ditinjau dari dimensi vertikal, tarian tersebut merupakan media yang sangat penting dalam ritus keagamaan dan jika dilihat dari dimensi horizontalnya, tarian ini mempunyai fungsi komunal dalam kehidupan masyarakat. Artinya, tarian itu menjadi media bagi jalinan kehidupan komunitas untuk bersama-sama menjalankan upacara keagamaan. Ini karena spirit yang mendasari kegiatan seni pada upacara keagamaan tersebut adalah paguyuban bukan patembayan. Spirit itulah yang berfungsi mempererat tali kehidupan komunal.
II.2. Tari Shang Hyang
Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat percaya adanya roh halus dan jahat serta alam yang mengandung kekuatan magis. Untuk mengimbangi dan menetralisir keadaan tersebut masyarakat mengadakan upacara yang dilengkapi dengan tari-tarian yang bersifat religius. Salah satu dari sekian banyak tarian religius yang ada pada masyarakat Bali adalah Tari Sanghyang. Tari sanghyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah (Gufron, 2007). Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magis hitam (black magic).
Yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam (Gufron, 2007).

Tari Sang Hyang adalah salah satu kesenian Bali yang berakar pada kebudayaan pra-Hindu dan kesenian asli yang sangat tua umurnya. Tari ini masih hidup sampai sekarang. Kini dapat dijumpai kurang lebih dua puluh macam tari Sang Hyang. Tarian tersebut banyak terdapat di desa-desa daerah pegunungan. Semua jenis tari Sang Hyang terdiri atas dua atau tiga orang penari dan biasanya mereka dapat mencapai trance (kerawuhan), kemasukan para leluhur atau roh-roh lainnya. Kerawuhan itu dapat dicapai dengan penudusan, menghirup asap kemenyan, menyanyikan lagu sakral, dan meditasi dengan rasa kebaktian yang mendalam. Ketika penari Sang Hyang itu kemasukan roh, mereka mengadakan interaksi dengan para penonton atau dengan para Sang Hyang lainnya. Di beberapa daerah Sang Hyang berbicara sebagai “wahyu”.
Tari Sang Hyang dipentaskan pada saat tertentu dan tidak berhubungan dengan kalender upacara keagamaan. Tari Sang Hyang dipentaskan jika diperlukan, khususnya pada saat berjangkitnya wabah penyakit. Tari Sang Hyang biasanya dipertunjukan pada malam hari dan upacara dimulai dari jeroan pura, tempat paling sakral dari  sebuah tempat persembahyangan.
Pertunjukan tari Sang Hyang sangat beraneka ragam wujudnya, masing-masing memiliki unsur improvisasi sesuai dengan pola budaya yang berkembang di sekitarnya. Tipe kerawuhan ini juga amat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Sang Hyang menari sesuai dengan gerak-gerak roh yang memasukinya. Keanekaragaman wujud gerak tari Sang Hyang tergantung pula dari jenis dan lokasinya. Setiap tari Sang Hyang mempunyai unsur pelukatan, upacara pembersihan secara agama Hindu. Misalnya tari Sang Hyang Dedari, merupakan salah satu dari Sang Hyang yang sudah terkenal di Pulau Bali, walaupun kata widyadari berasal dari bahasa Sanskerta, unsur-unsur kebudayaan Hindu hanya sedikit berpengaruh dalam tarian ini. Sang Hyang Dedari merupakan perwujudan utama dari masyarakat komunal dan memiliki unsur budaya yang sangat unik.
Secara tekhnis, Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri (I Made Bandem, 1996).

II.3. Jenis Tari Sang Hyang, beberapa diantaranya:
1.      Sanghyang Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.
2.      Sanghyang Deling, adalah tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.
3.      Sanghyang Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha).
4.      Sanghyang Cleng (babi hutan), adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.
5.      Sanghyang Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).
6.      Sanghyang Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan purnama.
7.      Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik.
8.      Sanghyang Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda.
9.      Sanghyang Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
10.  Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu, sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa.

II.                PENUTUP
Kesimpulan

Seni Budaya tari Sanghyang merupakan tarian khas orang Bali. Jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika—keindahan—sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai ketakwaan kepada Sang Penciptanya. Hal itu tercermin dari asal-usulnya yang bertujuan untuk mengusir wabah penyakit yang menurut kepercayaan mereka disebabkan oleh ganggungan roh jahat. Kedua nilai tersebut merupakan realitas sesungguhnya dari tari Sang Hyang.
GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search